Ad code

Rokok & Kopi Saset Bikin Miskin? Data BPS Ungkap Fakta Pahit Pengeluaran Warga RI

Sebuah paradoks yang ironis sering terjadi di tengah masyarakat kita: mengeluh tidak punya uang untuk biaya study tour anak atau membeli makanan bergizi, namun selalu ada dana untuk membeli sebungkus rokok atau beberapa saset kopi setiap hari. Fenomena ini bukan lagi sekadar anekdot, melainkan sebuah fakta ekonomi yang terkonfirmasi oleh data.


Sebuah video dari kanal YouTube Bossman Mardigu belum lama ini menyoroti kembali data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan korelasi kuat antara pengeluaran untuk rokok dan kopi dengan garis kemiskinan di Indonesia.

Narasi ini menyajikan sebuah realita pahit: di satu sisi, produk ini membuat pengusahanya kaya raya, namun di sisi lain, menjadi beban finansial yang terus-menerus menjerat masyarakat kelas bawah dalam lingkaran kemiskinan.

Bukan Sekadar Opini: Ini Datanya!

Analisis dalam video tersebut bukan tanpa dasar. Data resmi BPS secara konsisten menunjukkan bahwa pengeluaran untuk rokok, khususnya rokok kretek filter, menjadi salah satu kontributor terbesar kedua terhadap Garis Kemiskinan, tepat di bawah beras.

Berdasarkan data Profil Kemiskinan BPS per Maret 2024, berikut adalah fakta yang perlu kita ketahui:

  • Sumbangan Rokok Terhadap Kemiskinan: Rokok kretek filter menyumbang 12,14% pada Garis Kemiskinan di perkotaan dan 11,35% di perdesaan. Angka ini jauh lebih besar dari sumbangan komoditas protein seperti daging (1,97%) dan telur (3,44%).

  • Prioritas Pengeluaran: Data menunjukkan bahwa secara rata-rata, pengeluaran rumah tangga miskin untuk tembakau dan sirih enam kali lipat lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk daging, dan hampir setara dengan gabungan pengeluaran untuk telur dan susu.

  • Beban Finansial: Seperti yang disorot Mardigu, jika pengeluaran untuk rokok dan kopi saset digabungkan, angkanya bisa mencapai 20% dari total pendapatan bulanan keluarga ekonomi bawah. Ini adalah alokasi yang sangat besar untuk pos pengeluaran non-primer.

Lingkaran Setan: Mengapa Ini Terjadi?

Menyalahkan sepenuhnya individu yang terjebak dalam pola ini tentu tidak adil. Ada beberapa faktor psikologis dan sosial yang membuat rokok dan kopi saset menjadi pengeluaran "wajib" bagi sebagian orang:

  1. Pelarian Sesaat (Instant Gratification): Bagi pekerja dengan tekanan tinggi dan pendapatan rendah, kenikmatan dari sebatang rokok atau secangkir kopi seringkali menjadi satu-satunya kemewahan atau cara melepas stres yang terjangkau dan instan.

  2. Kebutuhan Sosial: Aktivitas "ngopi" dan "merokok" telah menjadi bagian dari ritual sosial di banyak komunitas. Tidak ikut serta bisa berarti terasing dari pergaulan.

  3. Kecanduan: Nikotin dalam rokok adalah zat adiktif yang membuat penggunanya sangat sulit untuk berhenti, bahkan ketika kondisi finansial sedang terdesak.

Pola ini menciptakan lingkaran setan: stres karena masalah ekonomi diredakan dengan rokok, yang justru semakin memperburuk kondisi ekonomi.

Apa Solusinya? Dari Hiburan Gratis Hingga Kesadaran Finansial

Mardigu dalam narasinya menawarkan solusi dari level akar rumput, seperti menciptakan hiburan murah atau gratis di tingkat desa (pertandingan sepak bola, voli, dll) agar warga memiliki alternatif kegiatan positif tanpa harus mengeluarkan banyak uang. Tabligh akbar kebangsaan yang menyejukkan juga bisa menjadi solusi hiburan rohani yang murah.

Namun, solusi yang lebih besar terletak pada dua hal:

  • Peningkatan Literasi Finansial: Edukasi mengenai dampak akumulatif dari pengeluaran kecil. Uang Rp20.000 per hari untuk rokok dan kopi terasa sepele, namun dalam sebulan menjadi Rp600.000—angka yang setara dengan garis kemiskinan per kapita nasional (Rp 609.160 per Maret 2024).

  • Kebijakan yang Mendukung: Pemerintah perlu menciptakan kondisi ekonomi yang lebih baik dan alternatif lapangan kerja agar masyarakat tidak terus-menerus berada dalam tekanan finansial yang mendorong mereka ke perilaku konsumtif yang tidak sehat.

Kesimpulan

Data BPS tidak berbohong. Di balik setiap batang rokok dan saset kopi yang kita konsumsi, ada biaya oportunitas yang hilang—dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk gizi yang lebih baik, tabungan pendidikan, atau investasi masa depan.

Ini bukan tentang melarang orang untuk menikmati hidup, melainkan sebuah ajakan untuk merenung: apakah kenikmatan sesaat yang kita kejar setiap hari justru menjadi penghalang terbesar kita untuk mencapai kesejahteraan jangka panjang?




Tags: Kemiskinan, Data BPS, Rokok, Kopi Saset, Mardigu Wowiek, Pengeluaran, Garis Kemiskinan, Literasi Finansial, Ekonomi Indonesia, Gaya Hidup.

flyer code

LIVESAYA NETWORK
LIVE sedang offline

Dukungan Anda Berarti

Situs ini didanai oleh iklan untuk bisa terus membuat konten game dan pop culture. Mohon matikan AdBlock untuk melihat halaman ini.