Di tengah dinamika sosial dan politik yang seringkali memanas, muncul sebuah pertanyaan unik yang dilontarkan kepada seorang ustaz dan menjadi viral: "Ustadz, bisa nggak masuk surga jalur didzolimi pemerintah?"
Pertanyaan ini, meskipun terdengar nyeleneh, sejatinya adalah cerminan dari perasaan dan kegelisahan yang mungkin dirasakan banyak orang. Namun, jawaban yang diberikan oleh sang ustaz membuka sebuah perspektif yang jauh lebih dalam, mengajak kita untuk tidak hanya melihat ke luar, tetapi juga merenung ke dalam diri sendiri.
Video edukasi ini bukan tentang kritik, melainkan sebuah pembelajaran berharga tentang konsep keadilan, dosa, dan tanggung jawab personal dalam Islam.
Memahami Konsep Keadilan di Akhirat: Hadits Orang Bangkrut (Muflis)
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sang ustaz merujuk pada sebuah dalil penting, yaitu Haditsul Muflis atau hadits tentang orang yang bangkrut di akhirat.
Hadist Riwayat Muslim nomor 2581 menjelaskan bahwa orang yang bangkrut (muflis) di akhirat bukanlah mereka yang tidak memiliki harta, melainkan mereka yang datang membawa pahala ibadah melimpah (seperti shalat, puasa, dan zakat), namun di saat yang sama juga membawa dosa-dosa akibat kezaliman terhadap orang lain.
Bagaimana nasib mereka? Di hari kiamat, keadilan akan ditegakkan. Pahala-pahala orang yang menzalimi akan diambil dan diberikan kepada orang-orang yang telah ia zalimi. Jika pahalanya habis sebelum semua kezalimannya terbayar, maka dosa-dosa orang yang dizalimi akan ditimpakan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.
Dari sini, sang ustaz menjelaskan bahwa orang yang terzalimi memang memiliki "jalur" untuk mendapatkan keadilan di akhirat, yaitu dengan menerima transfer pahala dari orang yang menzaliminya. Kesabaran mereka atas kezaliman yang menimpa bisa mendatangkan ganjaran yang besar.
Refleksi Penting: Jangan-Jangan Kita Menzalimi Diri Sendiri?
Di sinilah letak inti pesan yang paling menohok. Sebelum kita berharap pada "jalur dizalimi" oleh pihak lain, sang ustaz mengingatkan sebuah hal krusial: "Jangan zalim pada diri sendiri."
Seringkali, kita begitu fokus pada kesalahan atau ketidakadilan dari luar, sehingga lupa bahwa kezaliman terbesar bisa jadi kita lakukan terhadap diri kita sendiri. Bentuknya antara lain:
- Malas beraktivitas dan tidak produktif.
- Meninggalkan shalat.
- Tidak berpuasa di bulan Ramadan.
- Jarang membaca Al-Qur'an.
- Melakukan perbuatan maksiat lainnya.
Tindakan-tindakan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah terbesar yang Allah berikan: tubuh, waktu, dan kesempatan untuk beribadah. Jika kita sendiri sibuk menzalimi diri sendiri, bagaimana mungkin kita bisa berharap mendapat kemuliaan dari kezaliman orang lain?
Pesan Universal untuk Semua: Dari Pemimpin hingga Rakyat Biasa
Pesan ini berlaku secara universal, tidak hanya dalam konteks hubungan rakyat dan pemerintah. Setiap individu memiliki amanah dan tanggung jawab sesuai perannya masing-masing.
Untuk Pemimpin: Jika kelak menjadi pemimpin, jadilah pemimpin yang amanah dan mendengarkan keluh kesah rakyat. Keadilan adalah kunci pertanggungjawaban di akhirat.
Untuk Content Creator: Ciptakanlah konten yang bermanfaat dan mendidik, bukan yang merusak atau menyebarkan fitnah.
Untuk Pekerja (PNS, Karyawan, Buruh): Jalankan tugas dan amanah yang diberikan dengan penuh tanggung jawab.
Untuk Pelajar: Jaga amanah orang tua dengan belajar yang sungguh-sungguh.
Pada dasarnya, setiap perbuatan akan ditimbang dengan adil, sekecil biji sawi sekalipun, seperti yang ditegaskan dalam QS. Al-Anbiya' ayat 47.
Kesimpulan: Jalan Menuju Surga Bukan Sekadar Menjadi Korban
Pertanyaan tentang "masuk surga jalur dizalimi" memberikan kita sebuah pelajaran penting. Meskipun Islam menjanjikan keadilan mutlak bagi mereka yang sabar saat terzalimi, jalan utama menuju surga tetaplah dibangun di atas pondasi ketaatan kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia.
Inti pesannya adalah dua hal yang tak terpisahkan:
- Jangan menzalimi orang lain.
- Dan jangan menzalimi diri sendiri.
Daripada berharap pada kezaliman orang lain sebagai jalan pintas, mari kita fokus memperbaiki diri, menunaikan amanah, dan menyibukkan diri dengan kebaikan. Karena pada akhirnya, setiap diri akan mempertanggungjawabkan perbuatannya masing-masing.