Jakarta, 12 Agustus 2025 — Film animasi lokal yang seharusnya menjadi kado istimewa untuk HUT ke-80 RI, "Merah Putih: One for All", justru diterjang badai kritik yang makin kencang. Setelah trailer-nya dirilis, film yang dikabarkan menelan biaya produksi hingga Rp6,7 miliar ini dituding plagiat oleh netizen. Tudingan ini membuat masa depan film tersebut di bioskop menjadi dipertanyakan, apakah anggaran yang begitu besar akan terbuang sia-sia?
kemiripan Mencolok yang Bikin Netizen Naik Pitam
Gelombang kritik ini bermula dari perbandingan yang diunggah oleh warganet di media sosial. Mereka menyoroti kemiripan yang mencolok antara beberapa adegan dari trailer "Merah Putih: One for All" dengan film-film animasi populer dari luar negeri. Netizen menyoroti desain karakter, dialog, dan gaya penceritaan yang dinilai "terlalu kebarat-baratan". Ada yang menyebut animasi ini tidak memiliki identitas lokal yang kuat, seolah hanya meniru gaya film animasi Hollywood tanpa sentuhan khas Indonesia
Sebagai bangsa yang kaya akan cerita dan budaya, seharusnya ada banyak ide orisinal yang bisa digali. Kontroversi "One for All" ini menjadi pengingat penting bagi industri kreatif Indonesia untuk selalu menjunjung tinggi orisinalitas dan kreativitas.
Kritik pedas mulai bermunculan di media sosial, terutama di platform X .
"Filmnya bagus sih, tapi kok vibes-nya kayak film Disney atau Pixar ya? Desain karakter anak-anaknya enggak kelihatan kayak anak Indonesia," ujar salah seorang warganet. Komentar lain menyebut, "Budget milyaran harusnya bisa menciptakan sesuatu yang benar-benar orisinal. Kenapa harus terlihat seperti film impor?"
Anggaran Milyaran Rupiah VS. Hati Nurani Penonton
Dengan budget yang dikabarkan mencapai angka milyaran rupiah, ekspektasi publik terhadap "One for All" memang sangat tinggi. Penonton berharap dapat menyaksikan kualitas animasi kelas dunia yang dibalut dengan cerita lokal yang otentik dan menyentuh. Namun, kritik yang muncul justru mengisyaratkan kekecewaan akan hilangnya sentuhan lokal yang seharusnya menjadi daya tarik utama.
Polemik ini membuka diskusi penting tentang arah industri animasi Indonesia. Apakah untuk bersaing di kancah internasional, kita harus mengorbankan identitas budaya kita sendiri? Atau justru sebaliknya, kekuatan kita terletak pada orisinalitas yang belum pernah dieksplorasi oleh dunia?
Hingga saat ini, pihak produser maupun sutradara "One for All" belum memberikan tanggapan resmi. Akankah kontroversi ini justru menjadi bumerang, atau malah membuat film ini semakin dicari karena rasa penasaran publik yang memuncak? Kita nantikan saja jawabannya di bioskop mulai 14 Agustus 2025.