Ad code

Game Open World Sudah Mati? Inilah Dosa Terbesar yang Membuat Kita Bosan


Ingatkah Anda pertama kali merasakan keajaiban sejati? Saat berdiri di puncak gunung di Skyrim, memandangi dunia yang terbentang luas, dan sadar bahwa setiap sudutnya bisa Anda jelajahi. Atau saat pertama kali mencuri mobil di Liberty City, merasakan kebebasan absolut di sebuah kota digital yang hidup. Momen-momen itu adalah revolusi. Genre open world adalah janji kebebasan tanpa batas.

Namun, belakangan ini, janji itu terasa hampa. Keajaiban itu memudar, digantikan oleh rasa lelah. Setiap kali game open world baru diumumkan, antusiasme kita sering kali bercampur dengan skeptisisme. Peta yang semakin besar, durasi permainan yang katanya ratusan jam, justru terdengar seperti pekerjaan rumah, bukan petualangan.

Pertanyaannya pun muncul di benak banyak gamer: Apakah genre open world sudah mati?

Jawabannya: tidak, ia belum mati. Tapi ia sedang sakit parah. Ia terinfeksi oleh serangkaian "dosa" desain yang mengubah petualangan epik menjadi daftar tugas yang membosankan. Inilah dosa-dosa terbesar yang secara perlahan membunuh kecintaan kita pada dunia terbuka.

Dosa #1: Peta Sebagai Spreadsheet, Bukan Dunia

Dosa paling fatal dari game open world modern adalah cara mereka memperlakukan peta. Alih-alih menjadi kanvas misteri yang menunggu untuk ditemukan, peta kini tak lebih dari sebuah spreadsheet yang dipenuhi ikon. Tanda tanya, kamp musuh, barang koleksi, menara pengintai—semuanya disajikan seperti daftar belanja.

Eksplorasi yang seharusnya didorong oleh rasa penasaran ("Apa ya yang ada di balik hutan itu?") kini digantikan oleh mentalitas "membersihkan peta". Kita tidak lagi menjelajah, kita bekerja. Sensasi menemukan sebuah gua rahasia secara tidak sengaja telah hilang, karena gua itu sudah ditandai dengan ikon besar di peta sejak awal. Dunia yang luas terasa sempit karena imajinasi kita dibatasi oleh daftar tugas yang terlihat.

Dosa #2: Kuantitas di Atas Kualitas—Monster Bengkak Bernama "Konten"

"100+ jam gameplay!" teriak materi pemasaran. Dulu, ini terdengar menggiurkan. Sekarang, ini terdengar seperti ancaman. Pengembang terobsesi dengan metrik "durasi permainan", menciptakan monster bengkak yang dipenuhi konten dangkal.

Dunia raksasa mereka diisi dengan misi sampingan yang merupakan hasil copy-paste:

  • "Habisi semua musuh di kamp bandit #47."

  • "Kumpulkan 10 kulit serigala untuk NPC yang tidak akan Anda ingat 5 menit kemudian."

  • "Antarkan paket ini ke seberang peta."

Misi-misi ini tidak menambah kedalaman pada dunia atau karakter. Mereka hanyalah pengisi waktu yang dirancang untuk membuat angka "jam gameplay" terlihat impresif di kotak penjualan. Ini adalah bentuk ketidakhormatan pada waktu pemain. Kita dipaksa melakukan pekerjaan repetitif demi ilusi sebuah game yang "besar".

Dosa #3: Menara Pengintai dan Hilangnya Misteri

Mekanisme memanjat menara untuk membuka sebagian peta adalah simbol sempurna dari penyakit genre ini. Ia adalah jalan pintas menuju kebosanan. Dengan satu aksi, misteri dan potensi penemuan di satu wilayah lenyap seketika, digantikan oleh serangkaian ikon yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Ini adalah desain yang secara aktif menentang esensi eksplorasi. Alih-alih membiarkan pemain tersesat, menemukan jalan mereka sendiri, dan merasakan kemenangan saat menemukan lokasi penting, game-game ini memegang tangan kita, menunjuk ke semua "hal menyenangkan" yang harus dilakukan, dan menghilangkan semua kejutan di sepanjang jalan.

Lalu, Apa Harapannya? Ternyata Jawabannya Ada

Di tengah lautan formula yang membosankan ini, secercah harapan muncul dari game-game yang berani menentang dosa-dosa tersebut. Mereka membuktikan bahwa genre open world belum mati, hanya butuh penyegaran.

  • The Witcher 3: Wild Hunt menunjukkan bahwa misi sampingan bisa memiliki narasi sekuat cerita utama. Setiap kontrak monster terasa seperti sebuah investigasi dengan dilema moral yang kompleks.

  • The Legend of Zelda: Breath of the Wild & Tears of the Kingdom membuang ikon yang berlebihan dan membiarkan rasa penasaran visual pemain menjadi pemandu utama. Anda mendaki gunung karena Anda melihat sesuatu yang menarik di puncaknya, bukan karena ada tanda tanya di sana.

  • Elden Ring adalah antitesis dari peta yang memegang tangan. Ia memberikan Anda dunia yang masif, brutal, dan penuh rahasia, lalu berkata, "Silakan, temukan sendiri jalanmu." Setiap penemuan terasa seperti kemenangan pribadi.

  • Red Dead Redemption 2 fokus pada penciptaan dunia yang terasa hidup dan reaktif, di mana imersi lebih penting daripada jumlah aktivitas.

Game-game inilah buktinya. Kualitas sebuah game open world tidak ditentukan oleh seberapa besar petanya atau berapa banyak ikon di dalamnya. Kualitasnya terletak pada seberapa kuat ia memicu rasa ingin tahu, seberapa dalam dunianya terasa, dan seberapa besar ia menghargai kecerdasan dan waktu pemain.

Kesimpulan: Bukan Mati, tapi Butuh Revolusi Baru

Jadi, apakah game open world sudah mati? Tidak. Tetapi versi formulaiknya—dunia raksasa yang diisi dengan tugas-tugas repetitif—sudah seharusnya mati dan dikubur. Para gamer sudah lelah menjadi manajer daftar tugas. Kami merindukan petualangan, misteri, dan kebebasan sejati yang pernah dijanjikan genre ini.

Masa depan genre open world tidak terletak pada peta yang lebih besar, tetapi pada dunia yang lebih cerdas, lebih padat, dan lebih reaktif. Sampai para pengembang menyadari bahwa petualangan sejati lahir dari ketidaktahuan, bukan dari daftar ikon, kita akan terus merasa bosan. Dan itu adalah dosa terbesar dari semuanya.

flyer code

LIVESAYA NETWORK
LIVE sedang offline

Dukungan Anda Berarti

Situs ini didanai oleh iklan untuk bisa terus membuat konten game dan pop culture. Mohon matikan AdBlock untuk melihat halaman ini.