Dunia game modern adalah sebuah keajaiban. Grafik fotorealistis, narasi yang kompleks, dan dunia yang begitu luas untuk dijelajahi membuat kita takjub. Namun, di balik semua kemegahan itu, ada beberapa "penyakit" lama—tren-tren menyebalkan yang seolah menolak untuk mati. Praktik-praktik ini terus muncul di game-game baru, membuat para gamer mengelus dada dan bertanya, "Kenapa ini masih ada?"
Jika Anda seorang gamer, Anda pasti pernah merasakan frustrasinya. Mari kita bongkar 10 dosa besar industri game yang seharusnya sudah lama pensiun, tapi entah kenapa masih menghantui kita hingga sekarang.
1. Quick Time Events (QTE): Saat Jari Lebih Penting dari Strategi
Anda sedang menikmati adegan sinematik yang epik. Tiba-tiba, sebuah tombol raksasa muncul di layar, menuntut Anda menekannya dalam sepersekian detik. Gagal? Ulangi lagi dari awal. Inilah QTE. Alih-alih membuat kita merasa menjadi bagian dari aksi, QTE justru memecah imersi. Kita tidak lagi menikmati ceritanya, melainkan fokus menatap sudut layar, menunggu perintah tombol berikutnya. Fitur ini mengubah pemain dari partisipan aktif menjadi penonton yang hanya disuruh menekan tombol.
2. Misi Mengawal (Escort Mission): Lebih Seperti Mengasuh Balita
Tugasnya sederhana: lindungi karakter non-pemain (NPC) dari titik A ke B. Kenyataannya? Ini adalah mimpi buruk. NPC yang kita kawal sering kali memiliki AI (kecerdasan buatan) yang luar biasa bodoh. Mereka berjalan lambat, sering berhenti tanpa alasan, atau nekat lari ke arah musuh. Misi yang seharusnya heroik ini berubah menjadi tugas menjaga anak yang membuat frustrasi, di mana satu kesalahan kecil dari si NPC berarti game over untuk kita. Siapa yang tidak trauma mendengar "Leon, help!" dari Ashley di Resident Evil 4?
3. Misi Menguntit (Tailing Mission): Ujian Kesabaran yang Membosankan
Ikuti target, jangan sampai ketahuan, dan dengarkan percakapan mereka. Kedengarannya seperti pekerjaan mata-mata yang keren, bukan? Salah. Misi jenis ini biasanya berjalan sangat lambat dan monoton. Anda harus menjaga jarak yang sempurna—terlalu dekat ketahuan, terlalu jauh misi gagal. Tidak ada ruang untuk kreativitas atau improvisasi. Satu kesalahan kecil akan memaksa Anda mengulang seluruh proses yang membosankan dari awal. Seri Assassin's Creed adalah "juara" dari tren ini.
4. Adegan & Tutorial yang Tidak Bisa di-Skip
Mati saat melawan bos yang sulit sudah cukup menyakitkan. Yang membuatnya lebih parah adalah dipaksa menonton adegan sinematik panjang yang sama untuk kelima kalinya sebelum bisa mencoba lagi. Hal yang sama berlaku untuk tutorial. Bagi pemain veteran atau mereka yang sedang memainkan ulang sebuah game, dipaksa melalui tutorial dasar yang tidak bisa dilewati adalah siksaan murni. Beri kami pilihan, para developer!
5. Kewajiban Selalu Online (Always-Online DRM)
Anda membeli game single-player seharga penuh. Anda ingin memainkannya di waktu senggang, mungkin saat koneksi internet sedang buruk. Sayangnya, tidak bisa. Game tersebut mengharuskan Anda untuk selalu terhubung ke server mereka. Jika server sedang down atau internet Anda mati, game yang sudah Anda beli seharga ratusan ribu rupiah itu tak lebih dari sekadar ikon tak berguna di desktop Anda. Tragedi peluncuran Diablo 3 adalah bukti nyata betapa bencinya pemain terhadap praktik ini.
6. Microtransactions di Game Harga Penuh
Membayar Rp700.000 hingga Rp1.000.000 untuk sebuah game AAA seharusnya sudah cukup. Namun, setibanya di menu utama, Anda disambut oleh toko dalam game yang menjual skin, booster, atau bahkan item yang memengaruhi gameplay. Ini terasa seperti sebuah pengkhianatan. Praktik ini wajar untuk game free-to-play, tetapi ketika diterapkan pada game berbayar, rasanya seperti developer terlalu serakah dan ingin memeras dompet pemain hingga tetes terakhir.
7. Battle Pass di Mana-Mana
Battle Pass adalah sistem monetisasi brilian untuk game live service seperti Fortnite atau Apex Legends. Namun, tren ini mulai merayap ke game yang tidak seharusnya memilikinya, termasuk game single-player. Battle Pass menciptakan rasa takut ketinggalan (FOMO) dan mengubah aktivitas bermain game yang seharusnya santai menjadi "pekerjaan" yang harus diselesaikan sebelum musim berakhir.
8. Merilis Game yang Belum Selesai
"Rilis sekarang, perbaiki nanti." Ini tampaknya menjadi moto bagi banyak studio besar. Pemain membayar harga penuh untuk mendapatkan produk yang penuh dengan bug, glitch, dan masalah performa. Kita, sebagai konsumen, secara efektif dijadikan sebagai beta tester berbayar. Kasus peluncuran Cyberpunk 2077 atau No Man's Sky menjadi pelajaran pahit yang menunjukkan betapa merusaknya tren ini bagi reputasi dan kepercayaan pemain.
9. Banjir Remaster: Jual Nostalgia dengan Harga Penuh
Nostalgia adalah senjata ampuh, dan para publisher tahu itu. Alih-alih menciptakan IP baru yang berisiko, lebih mudah untuk "memoles" game lama, menaikkan resolusinya menjadi HD, dan menjualnya kembali. Masalahnya? Banyak dari remaster ini terasa malas dan dijual dengan harga yang tidak masuk akal, terkadang mendekati harga game baru. Ini berbeda dari remake (seperti Resident Evil 2) yang membangun ulang game dari nol. Tren remaster berbiaya rendah ini terasa seperti cara cepat mengeruk keuntungan dari kenangan indah para gamer.
10. Salah Kaprah Sistem "Bonfire": Saat Semua Game Ingin Jadi Dark Souls
Terinspirasi oleh kesuksesan seri Souls dari FromSoftware, banyak developer mengadopsi sistem checkpoint ala "Bonfire". Sistem di mana menyimpan progres akan menghidupkan kembali semua musuh di area tersebut. Sistem ini brilian dalam konteksnya—di game yang didesain dengan level rumit dan musuh yang menantang.
Masalahnya? Banyak developer menirunya mentah-mentah tanpa memahami filosofi di baliknya. Mereka memasukkannya ke dalam game action-adventure atau RPG biasa. Hasilnya? Pemain dipaksa melawan musuh-musuh yang sama berulang kali hanya untuk bisa menyimpan progres. Ini bukan lagi tantangan strategis, melainkan pekerjaan rumah yang menyebalkan dan menghabiskan waktu.
Meskipun daftar "sampah" ini panjang, kita tetap mencintai video game. Industri ini terus berevolusi, dan suara para pemain semakin didengar. Harapan kita adalah agar para developer mulai meninggalkan tren-tren usang ini dan lebih fokus pada hal yang terpenting: menciptakan pengalaman bermain yang solid, menghargai waktu dan uang pemain, dan tentu saja, menyenangkan.